Beraneka ragamnya sesembahan orang musyrik, itu realitanya. Ini dibuktikan dalam perkataan Syaikh Muhammad At Tamimi berikutnya dalam risalah beliau Al Qowa’idul Arba’. Jadi jangan kira bahwa sesembahan orang musyrik hanyalah patung berhala saja. Orang-orang sholeh pun jadi sesembahan mereka, mereka pun disebut musyrik.
القَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ: أَنَّ النَّبِيَّ ظَهَرَ عَلَى أُنَاسٍ مُتَفَرِّقِيْنَ في عِبَادَاتِهِمْ مِنْهُمْ مَنْ يَعْبُدُ الْمَلائِكَةَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَعْبُدُ الأَنْبِيَاءَ وَالصَّالِحِيْنَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَعْبُدُ الأَحْجَارَ وَالأَشْجَارَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَعْبُدُ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ، وَقَاتَلَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَهُمْ،
[KAEDAH KETIGA]
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa manusia berbeda-beda di dalam ibadah mereka. Sebagian mereka beribadah kepada para nabi dan orang sholih. Sebagian lagi beribadah kepada pohon dan batu. Sebagian lainnya beribadah kepada matahari dan bulan. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka semuanya dan tidak membeda-bedakan satu dan lainnya.
[KAEDAH KETIGA]
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada orang-orang musyrik, di antara mereka ada yang menyembah malaikat. Yang lainnya lagi menyembah matahari dan bulan. Di antara mereka lagi ada yang menyembah patung, batu, dan pohon. Dan ada pula yang menyembah para wali dan orang-orang sholih.
Inilah di antara keburukan syirik. Pelaku kesyirikan tidaklah bersatu dalam hal sesembahan. Berbeda dengan orang yang betul-betul mengesakan Allah (baca : ahlu tauhid). Sesembahan ahlu tauhid hanyalah satu yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu membuat-buatnya”. (QS. Yusuf [12] : 39-40).
Di antara kejelekan dan kebatilan syirik adalah : pelaku syirik berbeda-beda dalam perihal ibadah. Mereka tidak bersatu dalam kaedah ibadah yang sama karena mereka tidak berjalan dalam landasan ibadah yang satu (yaitu tauhid). Sebenarnya mereka berjalan mengikuti hawa nafsu mereka dan asal mengikuti seruan yang menyesatkan. Mereka ini akan semakin terpecah sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Az Zumar [39] : 29 ).
Orang yang hanya menyembah Allah semata diumpamakan dengan seorang budak yang diperbudak oleh satu tuan. Tuannya ini selalu merasa puas dengannya. Tuannya ini memiliki tuntutan tersendiri dari budak tersebut sehingga selalu merasa puas dengannya. Sedangkan orang musyrik diumpamakan dengan budak yang memiliki beberapa tuan. Budak ini tidak mengetahui siapa yang ridho terhadap dirinya dari tuan-tuannya itu. Masing-masing dari tuannya memiliki keinginan tersendiri. Setiap mereka memiliki tuntutan dan keinginan masing-masing. Setiap dari tuan tadi menghendaki sesuatu sesuai keinginannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan.” (QS. Az Zumar [39] : 29 ). Budak ini dimiliki oleh beberapa tuan. Tidak diketahui siapa di antara mereka yang ridho pada budak ini. (Berbeda halnya dengan budak yang satu ini),
وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ
“Dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja)”. (QS. Az Zumar [39] : 29 ). Budak ini dimiliki oleh satu tuan saja sehingga tuannya ini meresa puas dengannya. Inilah permisalan yang Allah buat antara orang musyrik dan orang yang bertauhid.
(Lihatlah) orang-orang musyrik pasti bepecah belah dalam peribadatan mereka. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka dan tidak membeda-bedakan satu dan lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi para penyembah patung. Begitu pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi orang Yahudi, Nashrani dan Majusi. Beliau shallallahu juga memerangi seluruh kaum musyrikin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi pula para penyembah malaikat, wali dan orang sholih. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah membedakan-bedakan di antara mereka.
Perkataan penulis di sini adalah bantahan kepada orang-orang yang mengatakan bahwa orang yang menyembah patung tidaklah sama dengan orang yang menyembah orang sholih atau salah satu malaikat. Kelompok pertama ini menyembah bebatuan dan pepohonan. Yang mereka sembah adalah benda mati. Sedangkan kelompok kedua adalah yang menyembah orang sholih dan salah satu wali Allah. Kelompok kedua ini berbeda dengan orang-orang yang menyembah patung.
Sebenarnya maksud orang-orang yang mengutarakan ucapan ini adalah : hukum orang yang menyembah kubur saat ini tidaklah sama dengan dengan para penyembah patung. Maka orang yang menyembah kubur belum tentu kafir. Amalan para penyembah kubur ini belum tentu syirik. Sehingga mereka tidaklah pantas untuk diperangi.
Sebagai sanggahan kepada ucapan semacam ini, kami katakan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah membedakan di antara mereka. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap bahwa mereka semua adalah orang musyrik sehingga halallah darah dan harta mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah membedakan satu dan lainnya. Kaum Nashrani yang menyembah Al Masih (Isa bin Maryam) –padahal Isa hanyalah utusan Allah- tetap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perangi. Begitu pula kaum Yahudi yang menyembah ‘Uzair –padahal ‘Uzair adalah Nabi atau orang sholih di antara mereka- tetap pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perangi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah membedakan orang-orang ini (walaupun sesembahan mereka berbeda-beda).
Namanya syirik tidaklah dibedakan antara yang menyembah orang sholih, yang menyembah patung, batu dan pohon. Karena yang namanya syirik adalah peribadahan kepada selain Allah apapun yang disembah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. An Nisa’ [4] : 36 ). Kata (شَيْئًا artinya sesuatu) adalah kata nakiroh yang berada dalam konteks larangan sehingga mengandung makna umum[1]. Sehingga yang dimaksud ‘sesuatu’ di sini mencakup seluruh jenis sesembahan yang diserikatkan dengan Allah baik itu malaikat, rasul, orang- orang sholih, para wali, bebatuan dan pepohonan.
****
وَالدَّلِيْلُ قَوُلُهُ تَعَالَى: ﴿وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ﴾[البقرة:193]
Dalil hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al Anfal [8] : 39)
?
Syaikh rahimahullah berkata, “Dalil hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al Anfal [8] : 39)
Maksudnya, ini adalah dalil dari perkataan Syaikh rahimahullah sebelumnya mengenai diperanginya orang-orang musyrik tanpa membeda-bedakan sesembahan mereka. Firman Allah Ta’ala,
﴿وَقَاتِلُوهُمْ ﴾
“Dan perangilah mereka.”
Ayat ini bersifat umum, mencakup seluruh orang musyrik tanpa ada pengecualian. Lalu firman Allah selanjutnya,
﴿وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ ﴾
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah.”
Fitnah yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Sehingga maksud ayat ini adalah ‘sampai tidak ada lagi kesyirikan’. Ini juga bersifat umum baik syirik dalam peribadahan kepada para wali, orang sholih, bebatuan, pepohonan, matahari atau bulan.
Lalu firman Allah selanjutnya,
﴿ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ﴾
“dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.”
Maksudnya adalah bahwa setiap ibadah hanya berhak ditujukan kepada Allah, tidak boleh Allah disekutukan dengan sesembahan apapun. Maka tidak ada bedanya syirik dalam penyembahan terhadap para wali, orang sholih, bebatuan, pepohonan, para setan dan selainnya.
]. وَدَلِيْلُ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ﴾[فصلت:37]
Dalil bahwa yang menjadi sesembahan orang musyrik adalah matahari dan bulan yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah menyembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Fushilat [41] : 37)
Ayat di atas menunjukkan bahwa ada yang menyembah (bersujud) pada matahari dan bulan. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat pada waktu matahari terbit dan ketika matahari tenggelam.[2] Hal ini sebagai sadaan lidz-dzari’ah (untuk menutup jalan ke arah sana yaitu menyembah matahari). Karena memang ada orang yang menyembah matahari ketika terbit dan tenggelam. Oleh karena itu, kita dilarang mengerjakan shalat pada dua waktu terlarang ini, walaupun shalat tersebut dikerjakan ikhlas karena Allah. Shalat di kedua waktu ini termasuk tasyabuh (menyerupai) orang musyrik. Oleh karena itu, kita dilarang melakukan hal ini untuk menutup jalan (wasilah) menuju kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk melarang kesyirikan dan menutup berbagai wasilah menuju kesyirikan tersebut.
وَدَلِيْلُ الْمَلائِكَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا﴾ [آل عمران:80].
Dalil bahwa yang disembah adalah malaikat yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai Tuhan.” (QS. Ali Imran [3] : 80)
?
Syaikh rahimahullah mengatakan, ‘Dalil bahwa yang disembah adalah malaikat’. Ini menunjukkan bahwa ada yang menyembah malaikat dan para Nabi. Ini juga termasuk kesyirikan.
Akan tetapi para penyembah kubur pada saat ini mengatakan bahwa orang yang menyembah malaikat, para nabi dan orang sholih tidaklah kafir.
****
وَدَلِيْلُ الأَنْبِيَاءِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ﴾[المائدة:116].
Dalil bahwa yang disembah adalah para nabi yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putera Maryam. Adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua ilah (sesembahan) selain Allah?”. Isa menjawab: “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. (QS. Al Maidah [5] : 116)
Syaikh rahimahullah mengatakan ‘Dalil bahwa yang disembah adalah para nabi’. Ini adalah dalil bahwa ibadah kepada para Nabi termasuk kesyirikan sebagaimana ibadah kepada patung.
Perkataan penulis ini merupakan sanggahan kepada para penyembah kubur yang membeda-bedakan dalam hal ini.
Perkataan beliau rahimahullah juga adalah bantahan kepada orang mengatakan bahwa syirik itu hanya dalam peribadahan kepada berhala. Menurut mereka tidaklah sama antara orang yang menyembah patung, para wali atau orang sholih. Mereka mengingkari penyamaan dalam kedua hal ini dan beranggapan bahwa syirik hanya terbatas pada penyembahan kepada patung-patung saja. Ini adalah kekeliruan yang sangat jelas ditinjau dari dua sisi :
[Sisi Pertama] Allah jalla wa ‘ala di dalam Al Qur’an mengingkari semua peribadahan (kepada selain Allah) dan memerintahkan untuk memerangi semua yang melakukan peribadah semacam itu.
[Sisi Kedua] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara penyembah berhala, malaikat atau pun orang sholih.
وَدَلِيْلُ الصَّالِحِيْنَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمْ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ… ﴾الآية[الإسراء:57].
Dalil bahwa yang disembah adalah orang-orang sholih yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Isra’ [17] :57)
Syaikh rahimahullah mengatakan ‘Dalil bahwa yang disembah adalah orang-orang sholih’ Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa ada manusia yang menyembah orang-orang sholih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
﴿أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمْ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ﴾
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)”. (QS. Al Isro’ [17] : 57). Ada dua pendapat mengenai tafsiran ayat ini.
[Pendapat pertama] Ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun kepada orang-orang yang menyembah Al Masih (Isa bin Maryam), ibunya (Maryam) dan ‘Uzair. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya Al Masih (Isa bin Maryam), Maryam dan Uzair hanyalah hamba yang menghambakan diri pada Allah, mendekatkan diri pada-Nya, selalu mengharap rahmat dan takut pada adzab-Nya. Mereka semua hanya hamba Allah yang sangat butuh dan bergantung kepada-Nya. Mereka juga berdo’a kepada Allah dan mencari wasilah kepada-Nya dengan melakukan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,
﴿يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمْ الْوَسِيلَةَ ﴾
“Mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Isro’ [17] : 57). Maksudnya untuk mencari kedekatan kepada Allah Ta’ala dengan melakukan ketaatan dan ibadah. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah tidaklah layak ditujukan kepada mereka. Alasannya karena mereka juga manusia yang sangat butuh (bergantung) pada Allah, mereka berdo’a (memohon) kepada Allah, mengharapkan rahmat-Nya dan takut pada adzab-Nya. Kalau memang keadaan mereka seperti ini, maka tidaklah pantas mereka disembah bersama Allah ‘azza wa jalla.
[Pendapat kedua] Sesungguhnya ayat ini turun kepada kaum musyrikin yang beribadah kepada sekelompok jin. Kemudian sekelompok jin tersebut masuk islam, namun orang-orang musyrik tidak mengetahui keislaman para jin ini[3]. (Ketika masuk Islam) jadilah para jin ini mendekatkan diri kepada Allah dengan dengan melakukan keta’atan dan ketundukan kepada-Nya. Mereka juga senantiasa mengharap rahmat-Nya dan takut pada adzab-Nya. Jadi, para jin adalah hamba yang sangat butuh pada Allah. Kalau demikian, tidaklah pantas menujukan ibadah kepada mereka.
Apapun maksud (tafsiran) ayat yang mulia ini, intinya ingin menunjukkan bahwa kita tidaklah boleh beribadah kepada orang-orang sholih baik mereka adalah para Nabi, para shidiqin atau para wali Allah dan orang sholih. Tidak boleh satu ibadah pun ditujukan pada mereka. Karena namanya hamba Allah pasti sangat butuh (bergantung) kepada-Nya. Bagaimana mungkin mereka bisa dijadikan sesembahan bersama Allah jalla wa ‘ala?
Maksud dari wasilah dalam ayat di atas adalah keta’atan dan segala bentuk pendekatan diri kepada Allah. Adapun secara bahasa, wasilah adalah sesuatu yang bisa mengantarkan pada tujuan. Segala sesuatu yang mengantarkan pada ridho dan surga Allah, maka itulah wasilah kepada Allah. Inilah wasilah yang disyari’atkan sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala,
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al Maidah [5] : 35).
Adapun orang-orang yang menyimpang dan ahlu khurofat, mereka mengatakan bahwa wasilah adalah menjadikan para wali, orang sholih, dan orang yang sudah mati sebagai perantara antara engkau dan Allah untuk mendekatkan dirimu pada-Nya. Mereka mengatakan,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS. Az Zumar [39] : 3). Jadi, makna wasilah menurut ahli khurofat adalah engkau menjadikan perantara antara dirimu dan Allah. Perantara ini akan menyampaikan hajatmu pada Allah dan memberitahukan pada Allah bahwa ini adalah hajatmu. Hal ini menunjukkan bahwa seakan-akan Allah jalla wa ‘ala itu tidak mengetahui (urusan hamba-Nya). Atau seakan-akan Allah itu bakhil (pelit), tidak mau memberi kecuali setelah didesak melalui perantara. Maha Suci Allah dari perkataan mereka ini.
Dari kerancuan inilah, mereka menebar keraguan di tengah-tengah manusia sambil memplintir firman Allah,
﴿أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمْ الْوَسِيلَةَ﴾.
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka”. (QS. Al Isro’ [17] : 57 ). Dari ayat ini, mereka memplintir bahwa sesungguhnya mengambil wasilah (perantara) dari mahluk adalah suatu perkara yang disyariatkan. Allah juga telah memuji orang seperti ini sebagaimana dalam firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al Maidah [5] : 35).
(Berdasarkan ayat di atas), mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan kita agar menjadikan wasilah kepada-Nya dan makna wasilah adalah perantara. Inilah tingkah laku mereka, telah menyelewengkan maksud firman Allah dari maksud yang semestinya.
(Yang lebih tepat) wasilah yang disyari’atkan yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah dengan melakukan keta’atan yang mendekatkan kita kepada Allah, bertawassul (mengambil wasilah) kepada-Nya dengan nama dan sifat-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Inilah wasilah yang disyari’atkan.
Adapun bertawassul kepada Allah melalui makhluk-makhluk-Nya, ini adalah wasilah yang terlarang dan termasuk wasilah yang mengandung kesyirikan. Seperti inilah yang dilakukan oleh orang musyrik yang terdahulu sebagaimana terdapat pada firman Allah ‘azza wa jalla,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. (QS. Yunus [10] : 18 ). Juga terdapat pada firman Allah,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya“. (QS. Az Zumar [39] : 3 ).
Inilah kesamaan kesyirikan zaman dahulu dan sekarang ini. Walaupun mereka menyebut perbuatan semacam ini[4] sebagai wasilah, akan tetapi kenyataan ini adalah kesyirikan dan bukanlah wasilah yang Allah syari’atkan. Allah tidaklah mungkin menjadikan kesyrikan sebagai perantara kepada-Nya selama-lamanya. Bahkan melalui wasilah yang syirik ini akan semakin membuat seseorang menjauh dari Allah. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”.(QS. Al Maidah [5] : 72 ).
Bagaimana mungkin kesyirikan dapat dijadikan sebagai wasilah untuk mendekatkan diri pada Allah? Maha Suci Allah dari perkataan mereka ini.
Adapun yang menjadi sisi pendalilan dari ayat ini (surat Al Isro’ ayat 57) adalah bahwa orang-orang yang beribadah kepada orang sholih juga termasuk orang yang berbuat syirik. Karena Allah telah menjelaskan hal ini dan menjelaskan bahwa orang-orang sholih yang mereka sembah itu sangat butuh kepada Allah sebagaimana pada firman Allah,
﴿أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمْ الْوَسِيلَةَ﴾.
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka”. (QS. Al Isro’ [17] : 57). Yakni orang-orang sholih tersebut juga mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan, manakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada-Nya). Mereka (orang-orang sholih) berlomba-lomba dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah karena mereka sangat butuh kepada-Nya sebagaimana terdapat dalam firman-Nya,
﴿ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ﴾.
“Dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya.” (QS. Al Isro’ [17] : 57 ).
Dan siapa saja yang keadaannya seperti ini tidaklah layak dijadikan sebagai sesembahan yang ditujukan do’a dan disembah bersama Allah Ta’ala.
****
ودليل الأحجار والأشجار قوله تعالى: ﴿أَفَرَأَيْتُمْ اللَّاتَ وَالْعُزَّى.وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى﴾[النجم:19-20].
Dalil bahwa yang disembah adalah pohon dan batu yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, Dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?”[5] (QS. An Najm [53] :19-20)
Syaikh rahimahullah berkata, “Dalil bahwa yang disembah adalah pohon dan batu … ”.
Pada ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ada orang musyrik yang menyembah pepohonan dan bebatuan.
Firman Allah ( أَفَرَأَيْتُمْ ) : “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik)”, ini adalah istifham inkari. Maksudnya adalah ‘beritahukan padaku’ menunjukkan kalimat tanya untuk mengingkari dan sebagai celaan.
Yang dimaksud dengan Laata (اللَّتَ) -dengan huruf ta’ tanpa ditasydid- merupakan salah satu nama berhala di Tho’if. Bentuk berhala ini berupa batu besar yang diukir. Di atas batu ini terdapat bangunan yang ditutupi tirai seperti ka’bah. Di sekeliling batu ini adalah tanah lapang. Batu ini memiliki juru kunci. Orang-orang musyrik dahulu menyembah Laata ini dan menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Beberapa qobilah sangat bangga sekali dengan berhala ini.
Laata juga bisa dibaca dengan (أَفَرَأَيْتُمْ اللَّاتَّ) -dengan ta’ yang ditasydid/ Kalau laatta adalah isim fail (kata yang menunjukkan pelaku) yang berasal dari kata latta – yaluttu (yang artinya ‘mencampur dengan samin’). Laatta adalah seorang laki-laki sholih yang mencampurkan samin dan memberikannya kepada para jama’ah haji. Lalu pria ini meninggal dan orang-orang membangun bangunan pada kuburnya dan dipasangkan tirai. Kemudian mereka menjadikan kuburan ini sebagai sesembahan selain Allah. Inilah yang disebut Laatta.
Yang dimaksud dengan ‘uzza ﴿ وَالْعُزَّى ﴾ adalah pepohonan salam (jenis pohon yang bisa dipakai menyamak, pen) yang berada di lembah kurma yang berada di antara Mekkah dan Tho’if. Sekeliling pohon terdapat bangunan dan diberi tirai. ‘Uzza ini juga memiliki juru kunci. Di sana terdapat setan yang dapat berdialog dengan manusia. Namun sayangnya orang-orang bodoh menyangka bahwa yang berbicara adalah pepohonan itu sendiri atau bangunan yang ada di sekitarnya tadi. Padahal yang berbicara dengan mereka sebenarnya adalah setan yang ingin menyesatkan mereka dari jalan Allah. Inilah berhala orang Quraisy dan penduduk Mekkah serta orang-orang di sekitarnya.
Yang dimaksud Manaah ﴿وَمَنَاةَ ﴾ adalah batu besar yang diukir, berada di Pegunungan Qudaid yang berada di antara Mekkah dan Madinah. Berhala inilah yang dimiliki oleh penduduk Khuza’ah, Aus dan Khozroj. Mereka dahulu sering mendatanginya untuk berhaji. Mereka menjadikan Manaah ini sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah.
Inilah tiga berhala terbesar yang dimiliki orang Arab dahulu. Allah Ta’ala berfirman mengenai tiga berhala ini,
﴿أَفَرَأَيْتُمْ اللَّاتَ وَالْعُزَّى.وَمَنَاةَ ﴾
” Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza. Dan Manah”. (QS. An Najm [53] : 19-20 ). Maksudnya adalah apakah mereka dapat mencukupkan (kebutuhan) kalian? Apakah mereka dapat mendatangkan manfaat pada kalian? Apakah mereka dapat menolong kalian? Apakah mereka yang dapat mencipta, memberi rezki, menghidupkan, dan mematikan? Apa manfaat yang ada pada mereka? Penjelasan inilah yang bertujuan untuk mengingkari dan memperingatkan akal untuk kembali petunjuk yang benar. Sesungguhnya tiga berhala ini hanyalah bebatuan, pepohonan yang tidak dapat mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, mereka hanyalah makhluk biasa.
Tatkala Islam datang dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan Mekkah –sebagai tempat yang mulia-, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya mengutus Al Mughiroh bin Syu’bah dan Abu Sufyan bin Harb untuk pergi ke Laata (yang sebenarnya hanya batu atau kuburan, pen) yang berada di Tho’if. Kedua orang ini –akhirnya- menghancurkan berhala tersebut atas perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pula Kholid bin Walid untuk pergi ke ‘Uzza. Lalu dia menghancurkannya, memotong pepohonan yang ada dan membunuh jin yang dapat berdialog dengan manusia. Jin yang hanya ingin menyesatkan manusia ini, akhirnya hilang tanpa bekas –alhamdulillah (segala pujian hanyalah milik Allah)-. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus ‘Ali bin Abi Tholib untuk pergi ke Manaah. Lalu ‘Ali menghancurkan berhala ini tanpa ada bekas.[6] Lihatlah berhala ini tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
﴿أَفَرَأَيْتُمْ اللَّاتَ وَالْعُزَّى.وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى﴾
” Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza. Dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)”. (QS. An Najm [53] : 19-20 ). Adakah mereka bisa menghindarkan diri (ketika ingin dihancurkan)? Apakah mereka dapat mendatangkan manfaat? Apakah mereka dapat mencegah dirinya sendiri dari para tentara Allah dan ahlu tauhid (yang ingin menghancurkan mereka)?
Inilah dalil yang menunjukkan bahwa di sana ada orang-orang menyembah pepohonan dan bebatuan. Bahkan ketiga berhala tadi adalah berhala terbesar yang mereka miliki. Namun, Allah telah melenyapkan berhala-berhala ini tanpa bekas. Berhala-berhala ini tidak dapat mencegah kehancuran mereka. Mereka juga tidak dapat mendatangkan pada orang yang menyembahnya. Lihatlah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerangi orang yang menyembah berhala-berhala ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh mereka, namun –lihatlah- berhala-berhala tadi tidak dapat berbuat apa-apa. Inilah yang dalil oleh penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) bahwa ada orang yang menyembah bebatuan dan pepohonan.
Ya Allah Dzat Yang Maha Suci, manusia yang berakal mengapa bisa-bisanya menyembah pohon-pohon dan batu-batu yang hanyalah benda mati, yang tidak memiliki akal, yang tidak dapat bergerak dan tidak hidup. Di manakah akal manusia? Maha Suci Allah atas apa yang mereka katakan.
****
وَحَدِيْثُ أَبِيْ وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ t قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ r إِلَى حُنَيْنٍِ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍِ، وَلِلْمُشْرِكِيْنَ سِدْرَةٌُ يَعْكُفُوْنَ عِنْدَهَا وَيَنُوْطُوْنَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لهَاَ: ذَاتُ أَنْوَاطٍِ، فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍِ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍِ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍِ… الْحَدِيْثُ.
Juga hal ini terdapat pada hadist Abu Waqid Al Laitsi , beliau berkata, “Kami keluar bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru saja kembali dari masa-masa kekufuran. Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang digunakan untuk beri’tikaf di sekelilingnya dan menggantungkan senjata-senjata mereka, pohon tersebut dinamakan Dzatu Anwath. Kemudian kami melewati sebuah pohon kemudian kami berkata, “Wahai Rosulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) memiliki Dzatu anwath.” (Al Hadits)[7]
Abu Waqid Al Laitsi radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang masuk Islam pada tahun Fathul Makkah –menurut pendapat yang terkenal- yaitu sekitar tahun 8 Hijriyah.
Apa yang dimaksud Dzatu Anwath?
Anwath adalah bentuk jama’ dari nauth. Kata kerjanya bermakna menggantung, sehinga nauth adalah sesuatu yang digantung. Orang-orang musyrik biasa menggantungkan senjata pada pohon tersebut agar memperoleh berkah.
Sebagian sahabat yang baru saja masuk islam dan belum mengenal tauhid secara sempurna, mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) memiliki Dzatu anwath.”. Inilah bencana taqlid (mengekor tanpa tahu dalil) dan bahaya tasyabbuh (menyerupai orang kafir). Kedua hal ini adalah bencana terbesar. Inilah hal yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi takjub (heran). Sehinga keluarkanlah perkataan dari lisan beliau, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Itulah yang biasa dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika merasa keheranan atau ingin mengingkari sesuatu, keluarlah ucapan takbir (Allahu Akbar) dari lisan beliau. Atau biasa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan (dalam kondisi demikian) ucapan ‘Subhanallah’ sambil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi bacaan dzikir ini.
(Dalam lanjutan hadits Abu Waqid ini) : إِنَّهَا لَسُنَنٌ . Yang dimaksud dengan kalimat ini yaitu ini adalah cara yang dijalani manusia dan sebagian mereka mengikuti yang lainnya (ringkasnya ini adalah tradisi, pen). Sebab yang bisa mengantarkan mereka melakukan seperti ini (yaitu mengambil berkah dari pohon) adalah karena mengikuti jejak orang-orang terdahulu dan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang musyrik.
(Dalam lanjutan hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda), “Demi yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, Perkataan kalian ini seperti halnya perkataan Bani Israel kepada Musa,
( اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةً قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ )
“Jadikanlah untuk kami sesembahan seperti sesembahan mereka. Kemudian Musa berkata sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil (bodoh)”.(QS. Al A’rof [7] : 138).
(Kisah mengenai ayat ini) : Dulu tatkala Nabi Musa ‘alaihis salam bersama dengan Bani Israel telah mencapai lautan dan Allah menenggelamkan musuh-Nya di laut tersebut sedangkan mereka memperhatikan hal ini, lalu Musa dan kaumnya melewati kaum musyrikin yang beri’tikaf pada berhala-berhala yang mereka miliki. Lalu kaumnya tersebut berkata kepada beliau ‘alaihis salam (yang artinya), “Jadikanlah untuk kami sesembahan seperti sesembahan mereka. Kemudian Musa berkata sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil (bodoh)”.(QS. Al A’rof [7] : 138).
Namun, Nabi Musa ‘alaihis salam menolak permintaan ini dan berkata :
( إِنَّ هَؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ )
“Sesungguhnya kepercayaan yang dianut mereka (yang penuh dengan kebatilan) itu akan dihancurkan dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan.” (QS. Al A’rof [7] : 139 ). Mengapa menjadi batal apa yang selalu mereka kerjakan? Karena yang mereka lakukan adalah kesyirikan.
Dalam ayat selajutnya, Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Musa menjawab: “Patutkah Aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allah? Padahal Dialah yang telah melebihkan kalian atas segala umat”. (QS. Al A’rof [7] : 140 ).
Lihatlah sikap Nabi Musa ‘alaihis salam. Beliau ‘alaihis salam mengingkari kaumnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingkari para sahabat. Akan tetapi, kaumnya Musa dan sahabat Nabi tidaklah berbuat syirik. Bani Israel tatkala mengatakan perkataan semacam ini, mereka tidak berbuat syirik karena belum melakukkannya, begitu pula dengan para sahabat Nabi. Seandainya para sahabat mengambil berkah dari Dzatu Anwath pasti mereka sudah dinyatakan berbuat syirik. Akan tetapi, Allah Ta’ala telah melindungi mereka. Tatkala Nabi mereka melarang untuk berbuat demikian, mereka pun enggan melakukannya. Mereka bisa mengatakan seperti ini juga karena kebodohan. Mereka tidaklah mengucapkan seperti ini dengan sengaja. Setelah mereka mengetahui bahwa mengambil berkah dari Dzatu Anwath adalah kesyirikan, mereka pun enggan melakukan hal itu. Seandainya mereka melakukan hal ini, tentu mereka telah berbuat syirik kepada Allah.
Inti penjelasan dari ayat tadi (Al A’rof : 138-140) adalah bahwasanya orang-orang musyrik juga ada yang menyembah pepohonan. Orang-orang musyrik ini menjadikan Dzatu Anwath (untuk diambil berkahnya). Para sahabat -yang belum kokoh ilmu dalam hatinya itu- berusaha untuk menyerupai orang-orang musyrik tersebut. Kalau bukan karena perlindungan Allah dan Rasul-Nya, tentu mereka (para sahabat) akan terperosok dalam jurang kebinasaan (yaitu kesyirikan).
Inti penjelasan dari hadits Abu Waqid Al Laitsi ini adalah ingin menjelaskan bahwa ada orang-orang yang mencari berkah dari pohon dan ber’itikaf di sekelilingnya. Makna beri’tikaf adalah berdiam diri di suatu tempat pada waktu tertentu dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Atau ringkasnya, i’tikaf adalah berdiam diri di suatu tempat.
Dalam hadits Abu Waqid ini terdapat berbagai faedah penting, di antaranya:
[Pertama] Hadits ini menerangkan mengenai bahaya bodoh terhadap tauhid. Barangsiapa yang bodoh dalam masalah tauhid sangat mungkin dia terjatuh dalam kesyirikan sedangkan ia tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, wajib bagi kita mempelajari tauhid dan juga kebalikannya yaitu syirik. Hendaklah kita mempelajari hal ini sampai kita berada di atas bashiroh (ilmu) bukan berada dalam kebodohan. Lebih-lebih berbahaya lagi jika seseorang tidak mengetahui tauhid dan syirik dengan benar. Boleh jadi dia melakukan suatu perbuatan (padahal itu syirik) namun dia menyangka itu benar karena sebab kebodohannya. Inilah yang menunjukkan bahaya kebodohan, lebih-lebih lagi jika bodoh dalam masalah aqidah.
[Kedua] Dalam hadits ini juga menunjukkan bahaya tasyabbuh (menyerupai) orang-orang musyrik. Sesungguhnya menyerupai mereka (dalam perkataan atau perbuatan) dalam mengantarkan seseorang dalam kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka.”[8]
Hendaklah kita tidak menyerupai orang musyrik (baik dalam perkataan maupun perbuatan)
[Ketiga] Sesungguhnya mengambil berkah dari bebatuan, pepohonan, atau dari bangunan adalah suatu kesyirikan walaupun dinamai dengan nama selain syirik. Karena (ingatlah bahwa) mencari berkah dari selain Allah dari bebatuan, pepohonan ataupun kuburan, ini semua adalah kesyirikan walaupun dinamai dengan nama selain syirik.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom
—
Telah hadir buku terbaru: Buku Mengenal Bid’ah Lebih Dekat (harga: Rp.13.000,-), karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Kirimkan format pemesanan via sms ke no 0852 0017 1222 atau via PIN BB 2AF1727A: Buku Bid’ah#Nama#Alamat#no HP. Nanti akan diberitahu biaya dan rekening untuk transfer.
[1] Nakiroh adalah istilah dalam ilmu nahwu yaitu kata yang belum jelas penunjukkannya. Dan menurut kaedah ushul fiqih bahwa nakiroh yang berada dalam konteks larangan atau peniadaan menunjukkan keumuman. [pen]
[2] Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَحَرَّى أَحَدُكُمْ فَيُصَلِّى عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَلاَ عِنْدَ غُرُوبِهَا
“Janganlah seseorang di antara kalian bersengaja shalat pada saat matahari terbit dan tenggelam.” (HR. Bukhari no. 585 dalam Al Mawaqit Bab Janganlah bersengaja shalat pada saat tenggelamnya matahari. Juga diriwayatkan oleh Muslim no. 828 dalam Al Masajid Bab waktu-waktu terlarang shalat)
[3] HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Jarir dan Al Hakim. Al Hakim berkata, “Hadits ini shohih sesuai syarat Muslim” dan perkataan beliau ini disetujui oleh Adz Dzahabi. Lihat Shohihul Musnad min Asbabin Nuzul karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah, hal. 178, Darul Haromain-Kairo. [pen]
[4] Mengambil wasilah melalui para wali yang telah mati. [pen]
[5] Hakekat lata adalah kuburan, ‘uzza adalah pohon sedangkan manat adalah batu. Lihat Iqtidho’ Shirothil Mustaqim 2/156-157, ta’liq Dr. Nashr bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql. Dan perhatikanlah penjelasan Syaikh Fauzan hafizhohullah selanjutnya. [pen]
[6] Lihat Zaadul Ma’ad, 4/ 413-415
[7] HR. Tirmidzi no. 2180 dalam ‘Al Fitan’, Bab ‘Sungguh kalian akan mengikuti jejak (kebiasaan) umat-umat sebelum kalian’. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih. Juga diriwayatkan dari Ahmad (5/218), Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 76, Ibnu Hibban dalam kitab shohihnya (no. 6702 – Al Ihsan). Ibnu Hajar menshohihkan hadits ini sebagaimana dalam Al Ishobah, 4/216.
[Tambahan pen] : Untuk membantu penjelasan Syaikh Fauzan selanjutnya, kami bawakan hadits ini secara lengkap,عَنْ أَبِى وَاقِدٍ اللَّيْثِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا خَرَجَ إِلَى خَيْبَرَ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى (اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ) وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ »
Dari Abu Waqid Al Laitsi mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala pergi ke Khoibar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin yang dinamakan Dzatu Anwath. Orang-orang musyrik biasa menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Lalu (di antara sahabat yang baru masuk Islam) mengatakan (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana milik orang-orang musyrik.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Subhanallah (Maha Suci Allah dari tingkah kalian yang semacam ini). Ini sama halnya dengan perkataan kaum Musa kepada beliau, ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana yang ada pada mereka’. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, sungguh kalian akan mengikuti jejak (kebiasaan) umat-umat sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2180. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Sedangkan dalam riwayat Ahmad disebutkan,
إِنَّهَا لَسُنَنٌ لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ سُنَّةً سُنَّةً
“Sungguh ini adalah tradisi (kebiasaan umat terdahulu). Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat sebelum kalian perhalan demi perhalan.” (HR. Ahmad. Syaikh Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
[8] HR. Abu Dawud no. 4031 dalam Al Libas (pakaian), Bab ‘Pakaian syuhroh (ketenaran). Juga diriwayatkan oleh Ahmad (2/50) dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkatab bahwa hadits ini sanadnya jayyid/bagus. (Iqtidho’ Ash Shirothol Mustaqim, hal. 236-239 ). Al Hafidz Al ‘Iroqi berkata dalam Takhrij Al Ihya’ (2/65) bahwa sanad hadit ini shohih. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (6/98) bahwa sanad hadits ini hasan.